Melaksanakan Aqiqah Setelah Hari Ketujuh

Melaksanakan Aqiqah Setelah Hari Ketujuh

Oleh Ustadz Berik Said hafidzhahullah

Sesungguhnya hadits yang keshahihannya hampir disepakati semua Ulama ahli hadits tentang kapan pelaksanaan aqiqah berasal dari orangtua untuk anaknya adalah hari ke 7 berasal dari kelahiran bayi tersebut.

Ini haditsnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

“Setiap anak tergadaikan bersama dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ke 7, dicukur rambutnya dan diberi nama". [HR. Abu Dawud no.2838]

Kata Imam Nawawi didalam Al Adzkar 361, Shahih. Kata Ibnu Daqiqiql ‘Id didalam Al Iqtirah 121, Shahih. Kata Syua’ib Al Arna’uth didalam Takhrij Abi Dawud 2838, Shahih. Kata Syaikh bin Baaz didalam Fatawa Nur ‘ala Darb XVIII: 236, Shahih. Kata Syaikh Muqbil didalam As Shahihul Musnad 455, Shahih. Kata Al Albani rahimahullah didalam Irwa’ul Ghalil 1165, Shahih.

Benarkah aqiqah boleh dilaksanakan hari ke 14 dan 21 berasal dari kelahiran bayi ?

Namun, ada yang berpendapat kalaupun tidak sanggup pada hari ke 7, maka boleh terhitung aqiqah itu dilaksanakan pada hari ke 14 atau hari ke 21 berasal dari kelahiran sang bayi. Bahkan ada yang berpendapat bebas kapanpun, baik sebelum saat hari ke 7 maupun sehabis hari ke 21.

Ada hadits yang mengatakan masalah ini, berasal dari Buraidah radhiallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: pendekatan fikih dan budaya

العقيقةُ تُذْبَحُ لسَبْعٍ ، أوْ لِأَرْبَعَ عشرَةَ ، أوْ لِإِحْدى و عشرينَ

"Aqiqah disembelih pada hari ke 7 atau hari ke 14 atau hari ke 21". [HR. Thabrani didalam Al Ausath no.4882, Baihaqi no.19771, Dailami didalam Al Fidaus no.4232]

Yang menjadi masalah, apakah hadits diatas shahih ?

Dalam sanad hadits iatas terkandung rawi yang bernama إِسْمَاعِيل بن مسلم المكي أَبُو إِسْحَاق البصري (Isma’il bin Muslim Al Maki Abu Ishaq Al Bashri), sejumlah kritikus hadits berpikiran dia lemah.

Perkataan Para Kritikus Hadits Terhadap Isma’il Bin Muslim

Kata Abu Ahmad Al-Hakim: "Bukan rawi yang kuat disisi mereka (para ahli hadits)". Kata Al-Bazaar: "Bukan periwayat yang kuat". Kata Baihaqi: "Aku tidak rela berargumentasi bersama dengan (hadits yang datang) darinya". Kata Ibnu Hibban: "Lemah, seringkali meriwayatkan hadits-hadits munkar berasal dari orang-orang yang masyhur, dan membolak-balikkan sanadnya".

Kata Ahmad bin Hanbal: "Munkarul hadits". Kata Ad Daraquthni: "Lemah, Matruk (Ditinggalkan haditsnya)". Kata Ali bin Al Madaini: "Lemah, tidak boleh dicatat haditsnya". Kata Bukhari rahimahumullah ‘alaihim ajma’in: "Ibnul Mubarak, Yahya bin Ma’in, dan Mahdi udah melemahkannya", dan didalam satu peluang berkata: "Sangat lemah".

Sebenarnya masih banyak kritikus hadits yang hampir bersepakat keseluruhannya melemahkan Isma’il bin Muslim tersebut. Semua kutipan para kritikus hadits diatas kita ambil secara acak dan ringkas berasal dari web https://hadith.maktaba.co.in/narrators/1059/

Atas dasar itulah, maka tidak sedikit para Ulama yang melemahkan hadits tersebut.

Penilaian Ulama Ahli Hadits Yang Melemahkan Hadits Tersebut Dahulukan Berqurban atau Aqiqah

Kata Al-Hafizh rahimahullah didalam Fathul Baari IX: 509, Dha’if. Kata Al-Haitsami didalam Majma’uz Zawaaid IV:26, Dha’if. Kata Syaikh Al Albani rahimahumullah didalam Irwaa’ul Ghalil no.1170, Dha’if.

Jika hadits tersebut lemah, maka apakah membuktikan aqiqah pada hari ke 14 atau hari ke 21 itu tidak boleh ?

Dalam perihal inI Ulama terbagi menjadi 3 pendapat:

1) Boleh, tapi hanya pada kelipatan berasal dari hari ke 7 itu, yang batas maksimalnya adalah hari ke 21. Setelah hari ke 21, maka tidak boleh. Dengan kata lain hanya membolehkan pilihan pada hari ke 7, 14, atau 21, dan andaikata udah lewat hari ke 21, maka tidak boleh kembali beraqiqah.

BACA JUGA

Hukum Istri Mengecek HP Suami

Hukum Wanita Yang Tidak Mau Menyusui Anaknya

Agar Rumah Tangga Menjadi Langgeng

Ini merupakan pendapat berasal dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dan Ishaq dan ‘Atha rahimahullah. Ini terhitung pendapat berasal dari Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. (Lihat Al Majmu VIII: 431, Al Mughni IX: 461, Fathul Maalik VII: 105)

Sanggahan Pendapat Pertama

Adapun penyandaran bahwa perihal ini adalah terhitung pendapat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, maka ini adalah berita yang lemah. Ibnu Hazm rahimahullah membuktikan hadits yang disandarkan berasal dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha didalam masalah ini adalah tidak sah. (Lihat Al Muhalla VII:529). Syaikh Al Albani rahimahullah terhitung menyebut hadits yang disandarkan berasal dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ini sebagai hadits yang munqathi’ (terputus kronologis sanadnya), dan mudraaj (hanya sisipan perawi). Hal ini ditegaskan oleh Al Albani rahimahullah didalam Irwa’ul Ghalil IV: 395-396.

Sementara dilihat berasal dari dalil yang shahih, maka kita tidak mendapatkan hadits shahih yang membantu pendapat tersebut, gara-gara yang shahih semata-mata yang mengatakan hari ke 7.

2) Boleh, bahkan tidak membatasi pada maksimal hari ke 21. Sebagian berasal dari mereka membolehkan bebas waktunya asal hitungannya adalah kelipatan 7, menjadi boleh hari ke 7,14,21,28,35,42,49, dan seterusnya. Sebagian kembali bahkan membolehkan keseluruhan tanpa ada batasan sama sekali, walaupun sehabis hari ke 7 berasal dari kelahiran sang bayi dan tidak kudu kelipatan 7, menj

Kami tidak merinci Ulama yang berpendapat demikianlah dan sumbernya mengingat khawatir terlalu panjang dan membingungkan pembaca.

Yang ini selama yang kita ketahui bahkan tidak terkandung penopang hadits yang dha’if sekalipun, gara-gara kalaupun rela berpegang pada hadits yang dha’if yang udah kita sebutkan diatas, itu adalah hari ke 14 dan 21.

Tapi itu pun dha’if, menjadi bagaimana pendapat ini sanggup di terima ?

3) Hanya membatasi pada hari ke 7 berasal dari kelahirannya. Lebih berasal dari itu, maka tidak kembali diakui aqiqah.

Ini adalah pendapat berasal dari Imam Malik (Lihat didalam Syarhul Al Khurasyi III: 47), Ash Shan’aani (Subulus Salam Syarah Bulughul Maram IV: 181), Syaikh Al Mubarakfuri rahimahullah (Tuhfatul Ahwaadzi Syarah Sunan At Tirmidzi V: 98), dan Syamsul Haq Al Azhim Al Abadi (Aunul Ma’bud Syarah sunan Abi Dawud VIII: 28)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimbar Masjid Minimalis Simbol Kedamaian dalam Kesederhanaan

Samsung Odyssey Ark – Monitor Gaming Terbaik untuk Kokpit dan Stasiun Pertempuran Anda

Tips Peluang Usaha di Masa Pandemi